Feeds:
Pos
Komentar

Kelahiran Nabi Samuel menurut Islam
Nabi Samuel ‘alayhissalam diutus untuk Bani Israil.

Beliau merupakan keturunan Bani Israil dari Suku Lewi, suku yang biasanya dipilih Allah untuk melahirkan para nabi. Seperti sudah diketahui, Bani Israil berarti anak keturunan Israil (nama lain Nabi Ya’qub ‘alayhissalam). Suku Lewi adalah satu dari 12 suku yang berasal dari 12 orang anak Nabi Ya’qub as.

Dikisahkan bahwa sejak Nabi Musa ‘alayhissalam wafat, Bani Israil banyak melakukan maksiat. Jangankan setelah wafat, bahkan ketika Nabi Musa as masih hidup pun mereka sudah banyak tingkah. Dan ketika ditinggal selama 40 hari untuk Nabi Musa as bertemu Allah di Gunung Sinai (Bukit Tursina), mereka telah menjadikan patung sapi sebagai Tuhan, dan mengabaikan peringatan Nabi Harun as yang “menjaga” mereka sepeninggal Nabi Musa as yang hanya beberapa hari itu.

Akibat pembangkangan yang banyak mereka lakukan, Allah mengabaikan mereka dari berbagai permasalahan. Bani Israil yang biasanya hidup sejahtera, tak pernah dikalahkan musuh, pada akhirnya menjadi bangsa yang tertindas.

Dalam keadaan sulit inilah mereka baru mengingat Allah dan berharap ada nabi yang bisa memintakan pertolongan pada Allah, sebagaimana nabi-nabi yang dulu pernah ada di antara mereka—yang sebagian besar mereka bunuh karena ajarannya menyelisihi hawa nafsu mereka.

Kala itu suku Lewi hanya tersisa seorang perempuan hamil yang suaminya telah meninggal dunia. Perempuan bernama Hubla (versi Yahudi dan Nasrani: Hana) itu lalu dijaga dengan baik oleh mereka. Hubla sendiri lalu berdoa kepada Allah agar dikaruniai anak laki-laki (karena nabi tidak ada yang perempuan). Maka ketika anak itu lahir, Hubla memberinya nama Sham’un atau Shamu’il alias Samuel yang artinya Allah mendengar permohonanku. Setelah usianya cukup, Samuel kemudian mendapat risalah kenabian, yakni menyampaikan ajaran tauhid kepada Bani Israil

💫Nabi Samuel dalam Al-Qur’an💫

Kisah Nabi Samuel dalam Alkitab mungkin berbeda dengan yang ada di Al-Qur’an. Tapi apa urusannya, sebagai muslim tentu kita lebih mengimani apa yang ada dalam kitab suci kita sendiri.

Sebagaimana yang telah direncanakan, Bani Israil kemudian meminta Nabi Samuel as agar memilih pemimpin di antara mereka untuk memerangi Bangsa Amaliqah (sebagian sumber menyebut Balthata) yang selama ini menjajah mereka.

Karena telah paham tabiat Bani Israil, Nabi Samuel as tidak begitu saja memenuhi keinginan mereka. Beliau tau Bani Israil adalah kaum yang tak suka berjuang, namun para pembesar kaum itu meyakinkan Nabi Samuel as bahwa mereka benar-benar akan berperang melawan musuh kali ini.

Para ulama sepakat bahwa “seorang nabi mereka” dalam ayat di atas adalah Nabi Samuel as. Dan ketika sang nabi menunjuk Thalut sebagai raja bagi Bani Israil (belum lagi berperang), mereka sudah keberatan.

Yang biasanya menjadi nabi dari kalangan Bani Israil adalah keturunan Lawi atau Lewi, yang biasa menjadi raja adalah keturunan Yahuza. Sementara Thalut adalah keturunan Bunyamin. Tapi bukan itu yang menjadi alasan penolakan mereka, melainkan karena Thalut hanyalah penggembala miskin. Orang-orang Yahudi tak sudi dipimpin oleh orang yang tidak lebih kaya dari mereka.

💫Tabut Perjanjian💫

Sebagai seorang nabi, tentu saja penunjukan Thalut sebagai raja adalah atas wahyu dari Allah. Bukti bahwa Thalut yang berasal dari Bani Israil miskin merupakan pemimpin pilihan Allah adalah didatangkannya Tabut yang dibawa oleh malaikat pada mereka. Padahal sebelumnya tabut itu telah dirampas oleh bangsa yang menindas Bani Israil.

Barangkali inilah mukjizat Nabi Samuel, sebab Tabut yang dirampas dalam peperangan bisa didatangkan begitu saja di hadapan Bani Israil. Sementara Thalut sendiri datang ke rumah Nabi Samuel karena mencari ternaknya yang hilang, dan Allah telah menyampaikan ciri-ciri Raja Bani Israil pada Nabi Samuel, yang membuat beliau langsung mengenali Thalut.

Apa itu Tabut? Tabut adalah kotak berisi lauh, yakni kepingan batu bertuliskan kitab Taurat yang diterima Nabi Musa as setelah bermunajat di Gunung Sinai. Ketika Nabi Musa as mendapati kaumnya menyembah patung sapi buatan Samiri, beliau marah dan melempar lauh itu. Sebab tujuannya ke Bukit Tursina adalah untuk menerima kitab yang nantinya dapat menjadi pedoman bagi Bani Israil dalam menjalani kehidupan. Dibela-belain malah kufur, siapa tak emosi?

Setelah marahnya reda, lauh itu dikumpulkan kembali oleh Nabi Musa as dan disimpan ke dalam Tabut. Nantinya, alih-alih 10 perintah Allah dalam lauh itu dilaksanakan, Bani Israil malah membawa Tabut ke mana saja mereka pergi, terutama dalam setiap peperangan. Menganggap dengan begitu mereka akan menang.

Maka ketika Tabut dirampas oleh musuh, hampir tidak ada di antara mereka yang hafal isi Taurat. Berbeda dengan Al-Qur’an, yang jika dibakar oleh musuh-musuh Allah (seperti yang kerap terjadi sekarang) masih banyak yang menghafalnya di seluruh dunia.

Kalau kamu suka membawa-bawa Al-Qur’an atau buku Yasin ke mana-mana seolah itu adalah jimat (hanya dibawa tidak dibaca), kamu boleh mengingat-ingat kelakuan orang-orang Yahudi ini terhadap Tabut yang ditinggalkan Nabi Musa as.

Selain Nabi Samuel dalam Al-Qur’an, kisah tentang Thalut dan Tabut juga termaktub di dalam kita suci umat Islam itu (QS 2: 250-252). Jadi jika kamu mendapati kisah versi lain dari referensi di luar ilmu keislaman, sebagai muslim kita wajib meyakini apa yang ada di dalam Al-Qur’an.

QS. Al-Baqarah Ayat 250

وَلَمَّا بَرَزُوۡا لِجَـالُوۡتَ وَجُنُوۡدِهٖ قَالُوۡا رَبَّنَآ اَفۡرِغۡ عَلَيۡنَا صَبۡرًا وَّثَبِّتۡ اَقۡدَامَنَا وَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ الۡکٰفِرِيۡنَؕ
Wa lammaa barazuu liJaaluuta wa junuudihii qooluu Rabbanaaa afrigh ‘alainaa sabranw wa sabbit aqdaamanaa wansurnaa ‘alal qawmil kaafiriin

Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

QS. Al-Baqarah Ayat 251

فَهَزَمُوۡهُمۡ بِاِذۡنِ اللّٰهِ ۙ وَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوۡتَ وَاٰتٰٮهُ اللّٰهُ الۡمُلۡكَ وَالۡحِکۡمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَآءُ ‌ؕ وَلَوۡلَا دَفۡعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعۡضَهُمۡ بِبَعۡضٍ لَّفَسَدَتِ الۡاَرۡضُ وَلٰـکِنَّ اللّٰهَ ذُوۡ فَضۡلٍ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَ

Fahazamuuhum bi iznillaahi wa qatala Daawuudu jaaluuta wa aataahul laahulmulka Wal Hikmata wa ‘allamahuu mimmaa yashaaa’; wa law laa daf’ullaahin naasa ba’dahum biba’dil lafasadatil ardu wa laakinnal laaha zuu fadlin ‘alal’aalamiin

Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Dawud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.

QS. Al-Baqarah Ayat 252

تِلۡكَ اٰيٰتُ اللّٰهِ نَـتۡلُوۡهَا عَلَيۡكَ بِالۡحَـقِّ‌ؕ وَاِنَّكَ لَمِنَ الۡمُرۡسَلِيۡنَ

Tilka Aayaatul laahi natluuhaa ‘alaika bilhaqq; wa innaka laminal mursaliin

Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan kepadamu dengan benar dan engkau (Muhammad) adalah benar-benar seorang rasul.

Tabut, yang sering disebut Tabut Perjanjian (Ark of the Covenant) memiliki banyak kisah yang umumnya dikesankan berlebihan. Dari dianggap memiliki kekuatan sihir, hingga diberitakan “Tabut Perjanjian ditemukan” di zaman modern ini. Gambar Tabut yang beredar di internet cenderung tidak berasal dari literatur Islam, terutama gambaran patung “malaikat” yang sangat tidak lazim dalam kebiasaan nabi-nabi kita yang menghindari “berhala” dan sejenisnya. Jika kamu begitu penasaran detail mengenai Tabut Perjanjian menurut Islam, silahkan lihat tafsir dari QS 2: 248.

QS. Al-Baqarah Ayat 248

وَقَالَ لَهُمۡ نَبِيُّهُمۡ اِنَّ اٰيَةَ مُلۡکِهٖۤ اَنۡ يَّاۡتِيَکُمُ التَّابُوۡتُ فِيۡهِ سَکِيۡنَةٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ اٰلُ مُوۡسٰى وَاٰلُ هٰرُوۡنَ تَحۡمِلُهُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ‌ ؕ اِنَّ فِىۡ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ

Wa qoola lahum Nabiyyuhum inna Aayata mulkihiii ai yaatiyakumut Taabuutu fiii sakiinatummir Rabbikum wa baqiyyatummimmaa taraka Aalu Muusa wa Aalu Haaruuna tahmiluhul malaaa’ikah; inna fii zaalika la Aayatal lakum in kuntum mu’miniin

Dan nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut kepadamu, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dibawa oleh malaikat. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Allah) bagimu, jika kamu orang beriman.

Lalu di mana Tabut sekarang? Allahua’lam. Tapi jika disimak dari perjalanannya, Tabut hilang ketika Bani Israil banyak melakukan kezaliman dan kafir pada Allah. Kemudian Allah kembalikan pada mereka ketika mereka berjanji akan berjihad bersama raja mereka. Maka kesimpulannya …?

💫Nabi Samuel, Thalut, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman💫

Ada yang menyandingkan nama Nabi Samuel dan Nabi Sulaiman. Mungkin karena kesamaan beberapa huruf, ada yang mengira mereka adalah orang yang sama. Jelas bukan.

Di bawah kepemimpinan Thalut, Bani Israil kemudian memerangi musuh yang dipimpin oleh Jalut. Jalut merupakan raja berperawakan raksasa, ia suka membantai dan bertahun-tahun telah menindas Bani Israil.

Di antara pasukan Thalut, ada seorang anak kecil yang ikut berperang, namanya Daud. Dengan ketapelnya, Daud-lah yang kemudian membunuh Jalut dalam duel satu lawan satu. Setelah dewasa, Daud diangkat Allah sebagai nabi sekaligus raja. Ketika Nabi Daud ‘alayhissalam meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Nabi Sulaiman ‘alayhissalam. Itulah hubungan sejarah antara Nabi Samuel as dan Nabi Sulaiman as.

Sebelum memulai perjalanan ke medan perang, Thalut mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan diuji ketika melewati sebuah sungai. Thalut berpesan, saat bertemu sungai itu hendaklah mereka menciduk air secukupnya saja dengan tangan, jangan berlebihan. Namun apa yang dilakukan sebagian besar pasukannya? Mereka minum air sungai itu sepuasnya, bahkan mandi! Yang itu membuat mereka malas untuk melanjutkan perjalanan. Alhasil, pasukan Thalut yang semula berjumlah sekira 70 ribu orang hanya tersisa 4 ribu saja. Meski demikian, sesuai janji-Nya, Allah memenangkan Bani Israil atas Bangsa Amaliqah.

💫Makam Nabi Samuel💫

Jika ditelusuri saat ini, tempat di mana Nabi Samuel hidup adalah sebuah desa di wilayah Al-Quds bagian utara. Lokasinya diapit permukiman Yahudi (sederhananya, Yahudi adalah bagian dari Bani Israil yang menentang ajaran nabi-nabi). Pertahun 2022, di tengah desa tersebut masih berdiri sebuah masjid dan pemakaman yang diyakini sebagai makam Nabi Samuel. Entah besok atau beberapa tahun ke depan, sebab wilayah Tepi Barat itu sekarang dikuasai Israel.

Begitulah sedikit kisah mengenai Nabi Samuel dalam Al-Qur’an. Beliau tidak tergolong nabi yang disebutkan secara gamblang namanya oleh Allah, namun berkat keilmuan para ulama yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita dapat mengenal beliau.

Rasulullah SAW merupakan manusia pilihan yang menjadi kekasih Allah. Bahkan Sang Pencipta juga melakukan salawat untuk Nabi junjungan alam tersebut. Ini merupakan satu-satunya ibadah yang diperintahkan untuk dikerjakan manusia, namun juga dilakukan oleh Allah SWT.

Begitu agungnya Nabi Muhammad disisi Allah, sehingga hal-hal yang dapat menyakiti Rasulullah akan menimbulkan kemarahan-Nya. Kisah berikut merupakan bukti jika Allah begitu marah ketika ada makhluk yang mengabaikan Rasul.

Ini terjadi saat Nabi melakukan Isra Miraj untuk menjemput perintah salat. Ketika 70 ribu malaikat menyambutnya, satu malaikat ini justru mengabaikannya. Allah kemudian mematahkan sayap malaikat tersebut dan membuangnya ke bumi. Bagaimana nasib malaikat ini? Berikut kisahnya.

Kisah ini tertulis dalam Kitab Mukasyafatul Qulub kaya Hujjatul Islam Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammas. Ceritanya bermula pada saat Rasulullah SAW melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah sholat dari Allah SWT.

Kala Rasulullah melintasi langit, terdapat 70 ribu malaikat di langit yang berbaris dan melayani beliau. Semua malaikat sangat menghormati kedatangan dari Kekasih Allah tersebut. Namun, lain halnya dengan satu malaikat, ia tidak berdiri untuk menghormati kedatangan Rasulullah tersebut.

Hal ini membuat Allah SWT marah dan kemudian menghukumnya dengan mematahkan dua sayap malaikat tersebut. Tidak cukup sampai di situ, Allah SWT juga mengasingkan malaikat tersebut ke bumi tepatnya di sebuah gunung Qaaf yang tinggi.

Di tempat pengasingan ini, malaikat tersebut hanya bisa menangis dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Keberadaan malaikat yang dihukum Allah tersebut diketahui oleh Rasulullah SAW lewat laporan dari malaikat Jibril.

Malaikat Jibril berkata, “Ya Rasulullah SAW, aku telah melihat ada seorang malaikat langit berada di atas singgasananya. Di sekitarnya terdapat 70.000 malaikat berbaris melayaninya. Pada setiap hembusan nafasnya, Allah SWT menciptakan darinya seorang malaikat. Dan sekarang ini kulihat malaikat itu berada di atas Gunung Qaaf dengan sayapnya yang patah dan sedang menangis.”

Ketika dia melihatku, dia berkata, “Adakah engkau mau menolongku?” Aku berkata, “Apa salahmu?” Dia berkata, “Ketika aku berada di atas singsana pada malam Mi’raj, lewatlah padaku Muhammad Kekasih Allah. Lalu aku tidak berdiri menyambutnya dan Allah menghukumku dengan hukuman ini, serta menempatkanku di sini seperti yang kau lihat.” Jelas malaikat malang tersebut sambil terus menangis dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya.

Setelah mendengarkan penjelasan dari malaikat malang ini, malaikat Jibril kemudian mencoba memberikan pertolongan kepadanya. Lalu ia merendahkan diri di hadapan Allah SWT untuk meminta pertolongan.

Maka Allah SWT berfirman: “Hai Jibril, katakanlah agar dia membaca shalawat atas kekasihKu, Muhammad SAW.”

Mendengar perintah Allah tersebut lantas malaikat Jibril segera menyampaikannya kepada malaikat yang mendapat hukuman. Sesuai dengan perintah Jibril, malaikat tersebut langsung bershalawat kepada Rasulullah SAW, akhirnya Allah SWT memberikan ampunan kepadanya.

Setelah memberi ampunan, Allah kemudian menumbuhkan kembali sayap malaikat tersebut dan mengembalikannya ke singgasananya.

Demikianlah informasi mengenai kisah malaikat yang dipatahkan sayapnya dan diasingkan ke bumi oleh Allah SWT karena tidak menghormati Rasulullah SAW. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengetahui betapa pentingnya shalawat kepada Kekasih Allah ini.

Sesuai dengan firman Allah: “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56].

KAROMAH SEORANG WANITA SHOLEHAH

Kisah ini adalah kisah nyata, tentang seorang wanita sholihah yang diberikan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.

Salah seorang sholih telah bercerita

“Suatu saat aku pergi ke Makkah untuk menunaikkan ibadah haji bersama dengan beberapa orang sahabatku dalam satu rombongan.

Kami berangkat dengan mengendarai unta dengan menyusuri padang pasir yang kering serta panas. Tiba-tiba datanglah rombongan singa yang sangat besar dan terlihat tampak kelaparan. Kami terpaksa berhenti dan semua orang dalam rombongan kami spontan kalang kabut karena takut pada singa-singa itu.

Kepala rombongan pun ketakutan dan memanggil petugas keamanan untuk mengusir rombongan binatang buas itu. Namun, petugas malah ketakutan dan spontan kalang kabut karena melihat singa yang kelaparan serta besar badannya.

Kepala rombongan pun akhirnya bertanya,
“Adakah di antara rombongan kita yang berani mengusir singa-singa itu?”

Belum selesai kepala bicara, tiba-tiba ada seorang anggota rombongan menjawab,
“Memang tidak ada seorang lelaki pun di antara rombongan kita yang berani mengusir sekawanan singa itu, tapi aku rasa di antara rombongan kita ini ada seseorang yang mampu mengusir singa-singa itu tanpa pedang atau senjata. Dia adalah seorang wanita yang sholihah dan saat ini bersama kita.”

“Katakan dimana wanita sholihah itu dan siapa namanya..?”, tanya kepala rombongan yang dalam keadaan kebingungan.

“Ia ada dalam haudaj (tandu)  untanya, Ummu Fatimah  namanya.”, jawabnya

Kepala rombongan segera menemui wanita itu di dalam tandunya. Setelah menatap wajahnya, ia tersontak kaget karena wanita tersebut ternyata sudah berusia lanjut dan buta kedua matanya.

Kemudian ia meminta sambil berkata kepada wanita itu,
“Ibu, kalau tidak keberatan, kami mohon kiranya ibu sudi turun dari unta ini sebentar saja karena kami butuh pertolongan ibu.”

“Memangnya ada apa?”, tanya ibu Fatimah yang keheranan.

“Kami dihadang beberapa ekor singa”, jawab sang kepala.

“Lalu kenapa kalian takut pada singa itu, padahal kalian laki-laki?”, tanya ibu itu.

“Ya benar bu, kami takut pada binatang buas itu karena kami tak tahu cara menghalaunya”

“Baiklah kalau begitu. Lalu apa yang kalian inginkan dari diriku yang tua dan cacat ini?”

“Kami yang yakin hanya ibu sajalah yang dapat menghalau dan mengusir singa-singa itu”, tegas ketua rombongan.

“Tapi aku ini seorang wanita, apakah kalian senang jika aku dilihat oleh singa-singa jantan itu?”, mendengar perkataan wanita tersebut ketua rombongan hanya diam dan bungkam seribu bahasa.

“Begini, katakan saja pada singa-singa itu, bahwa ibu Fatimah menyampaikan salamnya, dan dia bersumpah atas nama Dzat yang tidak pernah lalai dan tidur”, kemudian katakan pada kawanan singa itu, “Menyingkirlah jangan menghalangi Ibu Fatimah dan rombongannya untuk berjalan ke tanah suci Mekkah.”

Berkata orang sholih yang ada dalam rombongan itu, “Demi Allah, belum selesai ibu itu mengucapkan kata-katanya, melainkan singa-singa itu menyingkir dan lari ketakutan”

“Tak diragukan, kalau wanita ini adalah seorang hamba Allah yang sholihah yang hanya benar-benar takut kepada Allah, sehingga semua mahluk tunduk dan segan kepadanya”, kata ketua rombongan dengan penuh keheranan.

Banyak wanita yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah. Orang sholih memiliki hati yang lembut penuh rahmat dan kasih sayang, setiap malam mereka bermunajat kepada Allah memohonkan ampun untuk kita. Dan memaafkan kesalahan orang lain. Mengingat perjalanan hidup kaum sholihin, akan menambah iman dan dapat menenangkan hati yang sedih.

📚 Sumber : Kitab Jaami’ Karomatil Awliya’

Kisah Sunan Gunung Jati ( Syarif Hidayatullah )

Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, beliau sudah ditinggal mati ayahnya. Beliau didaulat menjadi Raja Mesir menggantikan ayahnya, namun Sunan Gunung jati tidak menyetujuinya, beliau lebih memilih berdakwah menyebarkan agama Islam bersama ibunya di tanah jawa. Kedudukan tersebut kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Saat masih berada di Mesir, beliau sudah berguru kepada para ulama besar di daratan Timur Tengah, sehingga di umur yang baru menginjak 20 tahun ini beliau sudah banyak menguasai ilmu tentang ajaran Islam. Ini tentu saja menjadi modal berharga dalam kepulangannya ke jawa untuk dapat berdakwah menyebarkan agama Islam.

Sebelum Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke Jawa Barat pada tahun 1475 Masehi, mereka terlebih dahulu singgah di Gujarat dan Pasai guna untuk memperdalam ilmu agama. Kedatangannya disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana beserta keluarganya. Syarifah Muda’im meminta agar dirinya dan putranya bisa tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarif Muda’im dan juga putranya berniat untuk meneruskan perjuangan dari Syekh Datuk Kahfi untuk membuka pesantren di Gunugjati. Dengan dibukanya pesantren tersebut, Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunugjati.

Pangeran Cakrabuana akhirnya menikahkan putrinya yakni Nyi Pakungwati dengan pria bernama Syarif Hidayatullah. Di usia yang sudah lanjut Cakrabuana menyerahkan kekuasaannya kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dengan gelar susuhan yang berarti orang yang dijunjung tinggi.

Di awal pemerintahannya Syarif Hidayatullah mengunjungi kediaman kakeknya yang berada di Pajajaran. Nama kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Kedatangannya bermaksud untuk mengIslamkan Prabu Siliwangi. Namun keinginan Syarif Hidatullah ditolak dan beliau tetap diperbolehkan untuk menyebarkan agama Islam di daerah Pajajaran.

Setelah dari Pajajaran, beliau melanjutkan perjalanannya menuju Serang. Disana sudah banyak ditemukan orang Muslim, pasalnya telah banyak orang Gujarat dan Arab yang telah bermukim. Kedatangan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) ini mendapat sambutan hangat oleh Adipati Banten. Bahkan, Adipati Banten menjodohkan anaknya yang bernama Nyi Kawungten dengan Sunan Gunung Jati. Dari perkawinan tersebut lahirlah anak yang diberi nama Nyi Ratu Winaon dan juga Pangeran Sebakingking. Di dalam menyebarkan agama Islam Syarif Hidayatullah tidak bekerja sendiri, beliau dibantu oleh para wali lainnya. Mereka biasanya melakukan musyawarah di Masjid Demak. Beliau juga dikenal sebagai orang yang ikut serta dalam pembangunan masjid agung tersebut.

Pergaulannya dengan para wali dan juga Sultan Demak, menjadikan Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Pakungwati lalu ia memproklamirkan dirinya sebagai raja yang pertama kali mendapat gelar sultan. Dengan adanya kesultanan tersebut maka Cirebon tidak lagi mengirimkan upeti ke Pajajaran.

Kesultanan Pakungwati semakin besar dengan bergabungnya perwira dan prajurit pilihan. Terlebih lagi dengan adanya perluasan pelabuhan Muara Jati, maka perdagangan dengan berbagai Negara menjadi semakin pesat terutama dengan Negara China. Jalinan antara Cirebon dan China semakin erat, dan Sunan Gunung Jati mengembara ke China dan mulai berdakwah dengan ilmu pengobatan yang terkenal di sana. Beliau juga menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di dalam dakwahnya beliau mengajarkan ilmu shalat kepada rakyat China dengan memberitahukan bahwa setiap gerakan yang dilakukan ketika shalat merupakan gerakan terapi pijat yang ringan atau biasa disebut dengan akupuntur.

Apalagi jika gerakan yang dilakukan saat shalat menggunakan gerakan yang benar serta lengkap dengan tuma’ninah dan amalan sunahnya. Dengan mendirikan shalat lima waktu secara rutin dan tidak mengonsumsi daging babi karena mengandung cacing pita ini maka pengobatan yang dilakukan dengan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dapat segera sembuh.

Dari ajarannya tersebut, selain beliau mengobati penyakit dari penduduk China beliau juga telah mengajarkan Shalat yang menjadi tiang agama. Suatu hari Kaisar China mendengar kehebatan dari Syarif Hidayatullah dan berniat untuk membuktikan kesaktiannya dengan mengundang ke istana. Kaisar China ingin menguji kepandaian dari Sunan Gunung Jati yaitu dengan membedakan mana wanita yang sedang hamil muda dan mana wanita yang masih perawan. Kaisar menggunakan kedua anaknya sebagai sampel. Anak kaisar yang tidak hamil perutnya diganjal dengan menggunakan bantal dan yang sedang hamil dibiarkan saja. Lalu kaisar bertanya mana wanita yang sedang hamil, seketika Syarif Hidayatullah menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Semua orang tertawa, namun selang beberapa saat ternyata bantal yang mengganjal perut Ong Tien berubah menjadi perut besar layaknya ibu hamil.

Dengan kejadian tersebut kaisar menjadi murka dan mengusir Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dari China. Karena putri Ong Tien sudah terlanjur jatuh cinta dengan Sunan Gunung Jati, maka kaisar mengijinkan agar putrinya menyusul Sultan Gunung Jati ke jawa dengan dibekali berbagai harta benda dan juga barang berharga dan dikawal oleh tiga pengawal sekaligus. Mereka akhirnya menikah. Di tahun 1568 Masehi beliau wafat dan dimakamkan di Cirebon.
SEJARAH SINGKAT SUNAN GUNUNG JATI

Beliau lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Orang tua. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor. Silsilah Sunan Gunung Jati Atau Syarif Hidayatullah binAbdullah bin Ali Nurul ‘AlamSyaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan binAhmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) Ali Kholi’ Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uradhi bin Ja’afar As-Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi. Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan Orang Tuanya

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu. Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Perjalanan Hidup Proses belajar

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa. Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ”abdi dalem” ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.

Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ”nujum” itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.

Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam. Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik. Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari. Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi. Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ”Wukir Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung. Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.

Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri. ”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,” kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta – Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon. Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20. Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang. Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir. Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang –cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama. Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata’ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.

Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan

Syarif Hidayatullah; Sunan Gunung Jati – Biar sejarah yang bicara ……

Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.

Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.

Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.

Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.

Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.

Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.

Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah.

Syarif Hidayatullah; Sunan Gunung Jati – Biar sejarah yang bicara ……

Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.

Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.

Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.

Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.

Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.

Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.

Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.

Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada Pangeran Treggono (setelah Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.

Wallahu a’lam bishawab.

Kisah Nabi Sam’un yang Tidak Memiliki Pengikut tapi Berperang Penting Turunnya Surat Al Qadr

yang tidak memiliki pengikut, tapi ilmunya tetap bermanfaat dengan dijadikan teladan. Dalam kitab Muqasyafatul Qulub karya Al Ghazali, dikisahkan pada suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam berkumpul dengan para sahabat.

Lalu bertanyalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam, “Apa yang membuatmu tersenyum wahai Rasulullah?”

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam menjawab, “Diperlihatkan kepadaku hari akhir ketika di mana seluruh manusia dikumpulkan di Mahsyar. Semua nabi dan rasul berkumpul bersama umatnya masing-masing, masuk ke surga. Ada salah seorang nabi yang dengan membawa pedang, yang tidak mempunyai pengikut satu pun, masuk ke surga, dia adalah Sam’un.”

Siapakah Nabi Sam’un? Samson atau Simson dalam bahasa Ibrani merupakan seorang nabi di dalam ajaran Islam yang dikenal dengan nama Sam’un Ghozi Alaihissallam.

Ia mempunyai kekuatan luar biasa yang tidak terkalahkan, namun kelemahannya terletak pada rambutnya. Hidupnya hampir setiap hari dilalui dengan berperang, terlebih dengan pedang ajaib yang selalu dibawa kala bertarung. Senjata ini terbuat dari tulang rahang unta bernama Liha Jamal.

Nabi Sam’un Alaihissallam memiliki mukjizat dapat melunakkan besi hingga merobohkan istana. Atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi Sam’un memiliki mukjizat lainnya. Ketika ia haus dan lapar, senjata itu disebut bisa mengeluarkan air maupun menumbuhkan daging untuk dimakan.

Dalam kisah para nabi disebutkan, Nabi Sam’un Alaihissallam sanggup beribadah selama 1.000 bulan yang diisi dengan sholat malam dan siangnya berpuasa. Selama 1.000 bulan, ia menjadi pembela agama tauhid yang berperang melawan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya berbekal tulang rahang unta.

💫Singkat cerita Nabi Sam’un Ghozi AS💫

Terpedaya oleh isterinya. Karena sayangnya dan cintanya kepada isterinya, nabi Sam’un berkata kepada isterinya, “Jika kau ingin mendapatkanku dalam keadaan tak berdaya, maka ikatlah aku dengan potongan rambutku.”
Akhirnya Nabi Sam’um Ghozi AS diikat oleh istrinya saat ia tertidur, lalu dia dibawa ke hadapan sang raja. Beliau disiksa dengan dibutakan kedua matanya dan diikat serta dipertontonkan di istana raja.

Karena diperlakukan yang sedemikian hebatnya, Nabi Sam’un Ghozi AS berdoa kepada Allah SWT. Beliau berdoa kepada Allah dimulai dengan bertaubat, kemudian memohon pertolongan atas kebesaran Allah.
Do’a Nabi Sam’un dikabulkan, dan istana raja bersama seluruh masyarakatnya hancur beserta isteri dan para kerabat yang mengkhianatinya. Kemudian nabi bersumpah kepada Allah SWT, akan menebus semua dosa-dosanya dengan berjuang menumpas semua kebathilan dan kekufuran yang lamanya 1000 bulan tanpa henti.

💫Hubungan Nabi Sam’un dengan Lailatul Qadar💫

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam selesai menceritakan kisah Nabi Sam’un Ghozi Alaihissallam yang berjuang fisabilillah selama 1.000 bulan, salah satu sahabat berkata, “Ya Rasulullah, kami ingin juga beribadah seperti nabiyullah Sam’un Ghozi Alaihissallam.”

Atas pernyataan sahabat itu, Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam diam sejenak. Dalam diam tersebut, turunlah wahyu kepada Rasulullah berupa Surat Al Qadr:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

١

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar.”

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ

٢

“Tahukah kamu apakah Lailatul qadar itu?”

لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ

٣

“Lailatul qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.”

تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ

٤

“Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.”

سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ ٥

Dijelaskan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bahwa pada bulan Ramadhan ada sebuah malam yang lebih baik dari 1.000 bulan.

Beriman kepada nabi-nabi dan rasul-rasul adalah wajib bagi umat Islam, walaupun di dalam Alquran tidak semua nabi dan rasul disebutkan.

Wallahu a’lam bisshawab.

Kisah Nabi Yusya, Nabi yang Menahan Matahari Terbenam

Kisah Nabi Yusya tersebut disampaikan Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari tak pernah ditahan untuk seorang manusia pun, selain untuk Nabi Yusya di hari beliau melakukan perjalanan menuju Baitul Maqdis (untuk jihad).” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dari Abu Hurairah)

Yusya bin Nun merupakan murid Nabi Musa AS yang menemaninya mencari ilmu. Ia diutus oleh Allah menjadi Nabi untuk meneruskan dakwah Nabi Musa di kalangan Bani Israil.
Setelah Nabi Musa wafat, Nabi Yusya membawa Bani Israil keluar dari padang pasir. Mereka berjalan menyeberangi sungai Yordania hingga tiba di kota Jerica.
Jerica merupakan kota yang berpenduduk padat. Bangunan di dalamnya tinggi dan memiliki keamanan yang cukup kuat.

Nabi Yusya dan kaum Bani Israil yang mengikutinya berniat melumpuhkan kota tersebut. Mereka lantas mengepung kota Jerica sampai enam bulan lamanya.

Suatu hari, Nabi Yusya dan pengikutnya sepakat untuk menyerbu ke dalam. Diiringi dengan suara terompet dan takbir serta semangat kebersamaan yang kuat, mereka pun berhasil menghancurkan pagar pembatas dan memasuki kota.

Di sana, mereka mengambil harta rampasan serta membunuh dua belas ribu pria dan wanita. Mereka juga berhasil mengalahkan sebelas raja dan raja lain yang berkuasa di Syam.

Sampai hari Jumat, peperangan belum juga usai. Matahari sudah hampir terbenam, menandakan hari Sabtu akan segera datang. Padahal, menurut syariat peperangan dilarang dilakukan di hari Sabtu. Oleh sebab itu, Nabi Yusya pun berkata: “Wahai matahari, sesungguhnya engkau hanya mengikuti perintah Allah, begitu pula aku. Aku bersujud mengikuti perintah-Nya. Ya Allah, tahanlah matahari itu untukku agar tidak terbenam dulu.”

Doa Nabi Yusya langsung dikabulkan oleh Allah SWT. Allah menahan matahari supaya tidak terbenam dan memerintahkan bulan untuk tidak menampakkan dirinya sampai Nabi Yusya dan para pengikutnya berhasil menaklukkan kota Jerica. Atas izin Allah, peperangan itu pun dimenangkan oleh Nabi Yusya.

Setelah berhasil menguasai Baitul Maqdis, Nabi Yusya memerintahkan kaumnya untuk mengumpulkan harta rampasan perang untuk dibakar. Namun, api tidak mau membakarnya lantaran ada dari kaum Bani Israil yang berkhianat dengan menyembunyikan emas.

Para pengkhianat itu kemudian diperintahkan untuk mengembalikan harta yang mereka curi dan mengumpulkannya dengan harta rampasan yang lain. Setelah itu barulah api menyala dan membakar semua harta tersebut.
Di bawah kekuasaan Bani Israil, kaum Baitul Maqdis kembali beriman kepada Allah. Nabi Yusya memerintahkan mereka dengan Kitab Taurat sampai ia meninggal dunia di usia 127 tahun.